
Bagaimana pendidik perguruan tinggi berperan di tengah disrupsi kecerdasan buatan?
Oleh Dimas Lazuardy
6 Maret 2025 | 20.32 GMT+7
Image: Unsplash/Cash Macanaya
Hadirnya ChatGPT dan platform generative AI lainnya memberikan efek disruptif yang cukup mendalam. Salah satu bidang yang terdampak adalah pendidikan. AI memang membantu proses belajar jauh lebih efisien, dengan menawarkan fitur yang cukup canggih sehingga seseorang dengan mudah mencari informasi sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya. Tetapi sebuah permasalahan muncul ketika AI difungsikan sebagai single-educational channel, sebagai sumber informasi andalan, bahkan, AI diposisikan sebagai ‘pembantu’ disaat mahasiswa mengalami kebuntuan berpikir menyelesaikan masalah akademik.
Saya tidak menyalahkan percepatan teknologi ini sebagai hal yang perlu diantisipasi. Tetapi justru percepatan ini setidaknya membuka dua pilihan untuk peradaban manusia: (1) menyesuaikan; atau (2) terlena. Nampaknya, potret masyarakat kita jauh lebih banyak ke pilihan kedua, terlena dengan kemudahan teknologi dan mengaburkan hal-hal substantif dalam proses belajar seperti mengkonfirmasi teori, memahami, hingga mengevaluasi progres belajar itu sendiri.
Pertanyaannya kemudian, ketika mayoritas mahasiswa lebih menyandarkan proses belajar terhadap AI, lantas bagaimana peran pendidik (dosen) di perguruan tinggi?
Perguruan tinggi menuntut hasil pembelajaran yang jauh berbeda dibandingkan level pendidikan sebelumnya. Salah satunya adalah peran perguruan tinggi adalah mendidik mahasiswa berkemampuan kognisi ynag jauh lebih kompleks, tetapi lebih dari itu, perguruan tinggi berperan dalam mendidik proses berpikir yang sistematis, sehingga mahasiswa tidak sekedar ‘tahu’ akan sebuah fenomena, tetapi dapat menjelaskan, memahami, mensintesakan dan mengevaluasi lebih dalam.
Lantas bagaimana dosen harus berperan ditengah disrupsi ini? Saya mencoba sedikit menyumbang pikiran untuk meresolusi problematika ini.
Saat saya berdiskusi dengan salah satu mahasiswa ilmu sosial di salah satu perguruan tinggi di Indonesia, ia mengatakan bahwa ia sangat membantu dalam mengeksplorasi informasi yang relevan tentang sebuah teori yang ingin ia cabar dalam penelitian tesisnya. Hanya saja, terus terang ia mengalami kesulitan saat menjumpai perdebatan teoritik yang sama sekali ia kurang menguasai.
Disitulah sebenarnya letak kekurangan AI, ia tidak akan pernah mampu untuk menyajikan sistematika bangunan teori yang relevan, meski hasil respon AI ‘seakan’ meyakinkan. Konfirmasi tetap membutuhkan membaca lebih banyak literatur dan melakukan inferensi terhadap sebuah teori tidak lah mudah. AI hanya mengandalkan data yang ia pelajari melalui prompt user lain yang setidaknya mencari hal yang sama.
Curioisity mahasiswa harus tetap dijaga, dan dengan AI, kesadaran mahasiswa untuk mencari tahu lebih banyak dapat terakomodasi.
Ketika mahasiswa itu berucap “saya dapat mengakses lebih banyak informasi melalui AI”, disitu saya beranggapan bahwa persoalan kognitif sebenarnya telah selesai oleh AI itu sendiri. Mahasiswa mendapat banyak pengetahuan yang menambah daya berpikir mereka tentang informasi tersebut. Maka sebenarnya, poin penting disini adalah bahwa dosen sudah tidak lagi berperan dalam membangun daya kognisi mahasiswa dalam konteks mencari informasi, karena AI telah memiliki banyak sekali tabungan informasi yang ada.
Pesan saya disini adalah, melarang mahasiswa memanfaatkan AI dalam proses belajar adalah bukan anjuran yang tepat. Biarlah mahasiswa mengeksplorasi jauh lebih banyak melalui AI karena pada dasarnya dosen sendiri tidak banyak tahu informasi sebanyak yang dimiliki oleh AI. Hanya saja, daya kognisi semacam itu saja tidak cukup untuk diandalkan dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Sistematika cara berpikir yang tepat dan ilmiah lah yang harus terus diajarkan.
Meski AI cukup powerful dalam hal menyajikan informasi yang cukup kompleks, akan tetapi AI tidak mampu menggantikan peran-peran pendidikan humanis seperti psikomotorik, afeksi dan cara berpikir sistematis. AI hanya menuruti apa yang kita perintahkan dan menyajikan apa yang kita butuhkan, tetapi ketika berhadapan pada situasi “dari mana saya memulai model penelitian saya?” seratus persen saya meyakini AI tidak akan menyelesaikan persoalan itu.
Pasalnya, AI hanya menampilkan informasi yang relevan, dengan kata lain, AI hanya model search engine yang advanced. Sistematika dalam membangun model penelitian butuh cara berpikir analitik dan mungkin eklektik untuk membangun premis-premis permasalahan penelitian. Tentu hal semacam ini hanya akan mudah tercapai apabila mahasiswa memahami state-of-the-art objek kajian dan studi yang ia lakukan.
Peran dosen, di sisi lain, justru jauh lebih diperlukan dalam menyiapkan kebutuhan itu. Aspek sistematika berpikir ini yang pada dasarnya dibutuhkan para mahasiswa. Misalnya, bagaimana mahasiswa memahami aspek epistemologis, ontologis, dan aksiologis dari teori yang akan mereka gunakan dalam penelitian. Seseorang mungkin saja dengan mudah menerima arahan dari AI tentang ini, tetapi ia tidak akan mencapai pemahaman yang sempurna tentang bagaimana semua itu terhubung.
Oleh karena itu, peran pendidik sebenarnya tidak perlu khawatir tentang bagaimana mahasiswa memanfaatkan AI dalam proses belajar. Justru, yang perlu dikhawatirkan adalah ketika bagaimana dosen tidak mampu mendeliver pesan pembelajaran tentang ‘berpikir sistematik’ dan nilai kesadaran dalam merunutkan sistematika ilmiah yang ada.
Dimas Lazuardy
Peneliti Perilaku Politik di Pusat Studi Demokrasi & HAM. Ia juga merupakan pendiri Voxdem.com